Selasa, 25 Januari 2011

crop circle

 Fenomena di Indonesia

Pada hari Minggu tanggal 23 Januari 2011 pukul 17.00 WIB, pihak Kepolisian Republik Indonesia di sektor Berbah, Yogyakarta mengkonfirmasi munculnya lambang misterius berdiameter 70 meter yang dicurigai terkait dengan isu BETA atau makhluk luar angkasa yang dikenal dengan sebutan lingkaran tanaman atau crop circle di daerah persawahan di Gunung Suru, Jogotirto, Berbah, di Sleman. Pihak kepolisian yang menyelidiki menduga bahwa lingkaran tanaman tersebut dibuat pada hari Sabtu malam sebelumnya, dan telah mengabadikan foto langka tersebut sebagai dokumentasi. Lingkaran tanaman di ladang tersebut diyakini sebagai kejadian fenomena lingkaran tanaman yang pertama di Indonesia dan kemudian ramai disaksikan para warga sekitar tempat kejadian tersebut. Para warga sekitar meyakini lambang tersebut adalah simbol pendaratan pesawat BETA dari planet lain. [1] Selain kesaksian tentang pesawat makhluk asing [2], terdapat berbagai kesaksian dari warga sekitar tentang penyebab fenomena tersebut, seperti SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) milik PLN, maupun sebuah angin puting beliung terlihat naik turun di ladang tersebut dan membentuk lambang misterius tersebut. [3]

Senin, 24 Januari 2011

kumpulan cerpen PERSAHABATAN

SATU PERSAHABATAN DALAM HIDUPKU

 Aku sedang berjalan kearah luar gang rumahku menuju sekolah. Tetapi sebelum aku berangkat sekolah, aku harus menunggu Dina yang sedang menuju kearah depan gangku. Kulihat kedepan sana tetapi tidak seorangpun tampak, ketika aku sedang menunggu Dina, aku melihat dua orang teman sekelasku berjalan kearahku. Ya… itu Lila dan Uswah. “ Hey Nad… kamu kaq belum berangkat sekolah seh?!! “ Tanya Lila kepadaku.“ owh iya neh aku sedang menunggu Dina. “ Jawabku.“ ohh kamu sedang menunggu Dina, tapi Nad 10 menit lagi sekolah masuk tau!! Kamu ga takut telat??? “ Tanya Uswah kepadaku.“ ya udah kalau geto kita berangkat sekolah bareng ya?!! “ pintaku kepada Lila dan Uswah.          Merekapun mengiyakan ajakanku dan segera melangkahkan kaki untuk menaiki angkutan umum yang akan mengantarkan kami kesekolah. 
                                             **** “
 
NADIAAA…!!! “ teriak Dina sambil melangkahkan kaki dengan cepat kearahku.“ Eh… Dina?!! ““ Eh… Dina, Eh… Dina lagi, kamu koq ninggalin aku seh Nad??? Tadi tuh aku kerumahmu tapi kata kakakmu, kamu baru aja berangkat!!! ““ Mmm…Sorry deh, abis kamu lama seh “.“ iiihh… kan udah aku bilang tunggu sampai aku datang?!! ““ iya…iya…sorry, udah donk jangan marah marah terus, kaya nenek – nenek aja!!! “.“ enak aja! Kamu tuh yang kaya nenek – nenek!!! “ jawab Dina dengan tampang kesalnya.           Melihat Dina mau marah-marah lagi, akupun berlari meninggalkan Dina menuju kelas dan duduk ditempatku, Dinapun berteriak – teriak sambil berlari-lari kecil kearahku dan melanjutkan ocehan – ocehan yang tadi tertunda.           Aku dan Dina bersahabat sejak duduk disekolah menengah pertama kelas 1 hingga duduk disekolah menengah kejuruan kelas 2. Orang tuaku sangat akrab dengan Dina, begitupun sebaliknya. Sudah seperti saudaraku sendiri. 
                                               ****“
 
Lila… Uswah… “ panggilku. “ ya Nad, ada apa?!! “ jawab Lila.“ nanti pulang bareng ya!!! “. “ oh itu, liat nanti aja ya!!! “ jawab Lila.“ oce dehh, Mmm… tapi besok berangkat bareng lagi ya??? Aku tunggu kalian berdua di tempat tadi, oce?!! “. “ oceee…!!! “ jawab mereka berdua dengan kompak.           Semenjak kami sering pulang dan berangkat sekolah bersama, kami menjadi semakin akrab. Tidak hanya pulang dan berangkat sekolah saja kami bersama tetapi kemanapun dan acarapun kami selalu terlihat bersama. Dan sejak saat itulah satu persahabatan dalam hidupku tersulam kembali.
                                          ****“
 
koq Lila, Dina dan Uswah agak beda ya?? Apa mereka sedang ngerjain aku ya?!! “ aku duduk termenung dikelas yang masih kosong.   “ Mmm… mungkin hanya perasaan aku saja kale ya?!! “ ujarku dalam hati.           Aku merasa beberapa hari ini Lila, Dina dan Uswah agak cuek kepadaku. Mungkin karena sebentar lagi hari ulang tahunku. Padahal aku merasa karena mereka cuek kepadaku. “ Eh Nad… bengong aja kamu!!! “ ujar Uswah membuyarkan lamunanku.   “ ah nggak koq!!! ““ oya Nad, besokhari minggu teman – teman sekelas ngajakinkita lari pagi bareng. Kamu ikut kan? “ Tanya Dina.  “ gat au deh, lihat besok aja ya?!! MALEEZZ tau, masa liburan gene masih keluar juga…! Acara kelas lagee!!! ““ Nad pokoknya kamu harus ikut, kalau ga ikut dapet hukuman loh. “ Ujar Lila menakutiku.  “ Memangnya anak SD… masih ada hukuman, udah pokoknya lihat bezok aja deh, ya.. ya..!!! “.“ YOII !!! “ jawab Uswah dengan singkat.           Aku sudah menduga pazti mereka merencanakan sesuatu untukku esok hari. Aku merasa sangat penasaran dan agak sedikit takut.  “ Aduh aku dating nggak ya besok??? Pasti mereka belez dendam deh ke aku karena kemarin yang nerjain mereka adalah aku!!! “ ucapku dalam hati.“ udah deh lihat besok aja…! Kalau aku dijemput ya aku pergi, tapi kalau aku ga dijemput ya aku nggak pergi!!! “ kataku dalam hati lagi dengan memejamkan mata untuk tidur walaupun dengan sedikit perasaan gelisah.      
 
     Tik…Tok…Tik…Tok…, tepat jam 12 malam tiba – tiba aku terbangun karena mendengar suara telepon berdering. Akupun dengan segera mengangkatnya. “ Hallo… “ sapaku.Tak ada jawaban dari seberang.“ Hallooo… “ aku menyapa sekali lagi.Masih tidak ada jawaban jawaban juga.  “ HAPPY BIRTHDAY TO U HAPPY BIRTHDAY TO U HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY, HAPPY BIRTHDAY NADIA…!!! Terdengar nyanyian dari seseorang di seberang sana.“thanks ya!!! “ aku terharu.“ Met ultah Nadia! Ketujuh belas ya? Semoga kamu tambah dewasa, tambah cantik dan tambah gokil!!! “ ujar Isti.“ Paztee..!! ““ Nad sorry neh aku ga bias telepon kamu lama – lama soalnya aku ngantuk! Kamu met tidur ya Nad, sorry ganggu, bye Nadia…!!! ““ Bye!!! “           Isti adalah kakak kelas disekolahku. Dia sangat baik kepadaku tetapi sejak ia lulus aku jarang sekali bertemu dengan sia mungkin bias dibilang tidak pernah lagi. Ya… mungkin dia sibuk dengan kegiatan barunya.
                                          ****“
 
iiihh.. Alarm berisik banged seh!!! Kan masih ngantuk?!! “ gerutuku.          Akupun segera bangun dan beranjak merapikan diri. Walaupun berat dan malas sekali rasanya tetapi pagi ini aku harus pergi karena sudah mempunyai janji untuk lari pagi bersama teman sekelasku. Walaupun aku tahu kalu hari ini mereka sudah mempunyai rencana untuk mengerjaiku. “ Assalamu’alaikum…!!! ““ Wa’alaikumsalam… “ jawabku sambil membukakan pintu.“ Hey Nad?!! ““ Hey! ““ Gimana udah siap belum? Teman – teman udah nunggu kamu tuh!! ““ Iya.. Iya.. sabar donk!!! “ kataku sambil melangkahkan kakiku kearah timur.           Ternyata teman – teman sekelasku tidak dating semua pagi ini dan ternyata dugaanku tentang semua itu salah, merekatidak mengerjaiku. Aku merasa sangat senang. “ Upss.. tapi tunggu sebentar, sebuah telur mendarat dengan tepat diatas kepalaku!!! “. Akupun berteriak dan mengejar-ngejar Uswah dan teman yang lainnya. Merekapun semua berlari menjauhiku. 
                                         ****  
 
" Assalamua’laikum…!!! Uswah… Uswah… “ Ucapkku setelah sampai didepan pintu rumahnya.“ Wa’alaikumsalam… ohh… Nadia, ayo masuk dulu Nad!!! “.          Uswah mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya. “ Tunggu sebentar ya nad, aku mau siap – siap dulu, nanti bila Lila dan Dina datang kita bias langsung berangkat kesekolah..! ““ iya.., tapi jangan pake lama, nanti aku jamuran lagi?!! “ jawabku sambil tersenyum kecil.           Tidak lama setelah Uswah berseragam sekolah rapi, Lila dan Dinapun datang. Aku dan Uswah segera keluar rumah dan memakai sepatu dengan cepat. “ yoo.. kita berangkat “ ucap Uswah setelah kami berpamitan dengan orang tuanya. Lalu kami bertiga menganggukan kepala dengan serempak sambil tertawa.          
 
Diperjalanan menuju sekolah, seperti biasa kami berempat bercerita dan bercanda tanpa merasakan teriknya matahari yang menyengat tubuh, karena kami terlalu asyik dengan candaan konyol Uswah yang membuat perut kami terasa sakit. Alangkah senangnya kami setiap hari seperti ini, selalu bersama – sama.           Ketika angkutan umum yang kami tumpangi sudah mengantarkan sampai tujuan dan pergi berlalu. Tiba – tiba Lila berbicara dengan kerasnya dan membuat aku, Dina dan Uswah kaget.    “ HEYY!!! Udah jam12.30 loh!!! “ Lila berusaha memberi tahu bahwa kami sudah terlambat masuk sekolah. Kami berlari – lari saling mendahului, sambil tertawa dan berbicara, “ tungguin donk, jangan cepet – cepet?!! “. Huh… lelahnya kami setelah berlari-larian. Kami berjalan perlahan menuju kelas dan sampailah didepan pintu kelas, lalu mengetuk pintu dan membuka dengan mengucapkan salam, lalu mencium tangan guru yang memang sudah duduk lebih awal sebelum kami datang.
 
           Kami mengawali hari dengan terlambat masuk sekolah yang memang bias di bilang ritinitas kami setiap harinya. Dan sekarang waktunya kami memandangi papan tulis yang penuh dengan huruf dan berbaris membuat shaf dan banjar. 1 jam, 2 jam, 3 jam, begitu bosannya kami belajar, hingga akhirnya bel istirahatpun berbunyi.     “ Akhirnya istirahat juga…!!! “. Kataku dalam hati.“ Nad, La, Din keluar yoo, Laperr nehh!!! “ ajak Uswah.           Kamipun berdiri lalu berjalan keluar kelas menuju tempat yang bisa menghilangkan rasa lapar dan haus. “ Makan… Makan…!!! Kita mau makan apa neh??? “ Tanya Uswah dengan bawelnya dan ketidak sabaran dia menunggu jawaban kami.“ Terserah deh “ ucap Dina dengan singkatnya.           Tanpa menunggu jawaban dari aku dan Lila, Uswah pun mengambil bakwan dan memasukkannya kedalam mulut, lalu dilanjutkan Lila, aku dan Dina. Setelah selesai makan, kamipun beranjak menuju masjid untuk melaksanakan shalat ashar.          
 
Waktu istirahatpun berakhir. Kami berempat memasuki kelas yang memang sudah ramai dengan teman – teman sekelas kami. Melanjutkan pelajaran yang tertunda. Iseng – iseng saat guru menjelaskan, aku menjaili Uswah dengan mengikat ujung jilbabnya. Teman – teman yang berada dibelakangku  tertawa – tawa dan berkata “ Dasar Jail?!! “. Aku hanya senyum – senyum kecil saja karena takut Uswah menyadarinya.           Bel pulang berbunyi, waktu kami pulang. Menaiki angkutan umum bersama, lalu berpisah ditengah perjalanan. “ aku duluan ya…!, Bye…bye….!!! “ ucapku sambil melambaikan tangan kepada Lila, Dina dan Uswah.          
 
Selama ini kami selalu bersama, baik susah maupun senang kami lewati bersama dan kami bersahabat cukup lamanya. Tetapi kenapa sudah beberapa hari ini, aku merasa persahabatan kami agak merenggang. Aku bersama dengan Lila sedangkan Uswah bersama dengan Dina. Aku merasa ada pembatas antara kami. Kepercayaan sedikit hilang. Banyak hal yang aku dan Lila sembunyikan ataupun sebaliknya Uswah dan Dina. Aku merasa cukup kehilangan dan sedih. “ Ada apa dengan persahabatan kami saat ini?? “ tanyaku dalam hati.“ apa penyebab ini semua, apakah bisa kami seperti dulu lagi, bercanda tawa dengan lepasnya tanpa adanya pembatas antara kami? “ sekali lagi aku bertanya pada diriku, tetapi sampai saat ini aku belum mendapatkan jawabannya.          
 
Kupandangi foto dalam bingkai, foto kami berempat. Aku, Lila, Dina dan Uswah. Sungguh satu persahabatan dalam hidupku yang begitu indah dan mengasyikan. Satu hal yang kusesali saat ini, “ mengapa aku harus egois dan diam saat melihat persahabatan ini hancur??! “ sesalku dalam hati.           Perjalanan hidup memang panjang. Membawa pertemuan dan perpisahan. Hari ini aku bertemu, besok aku berpisah. Namun seiring waktu berjalan kita tetap harus menjalani hidup ini dan memikirkan tujuan masa depan kita. Walaupun persahabatan ini bukan yang pertama bagiku, tetapi satu persahabatan inilah yang dapat membuat hari – hari dalam hidupku menjadi lebih bermakna. Creative : Nhumodz

CERPEN PERSAHABATAN

persahabatan

Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku  sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!”  jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?”  tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.”  jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!”  jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

CERPEN_CERPEN

Arti Hadirmu Untukku

Saat itu aq masih duduk d bangku SMA, saat dmana aq mengenalnya. Mengenal sosoknya yang begitu hebat, dy begitu kuat. Dy itu sangat tegar. Aq g pernah mengenal seseorang dengan semangat hidup yang begitu tinggi. Meskipun semangat itu g membuatnya memiliki umur yang panjang. Tapi semangat itulah yag membuatku sadar betapa berartinya hidup ini meskipun pahit. Beberapa tahun yang lalu, seseorang mengenalkanq pada sosok dy, dy yang sangat q kagumi. Dy yang selalu jadi seseorang yang bisa membuat orang lain kagum melihat pribadinya yang tegar dan kuat. Saat itu aq tak pernah mengira awal pertemuan itu akan membuat kami menjadi dekat, bahkan terlalu dekat untuk seumuran anak SMA yang baru beranjak dewasa dan belum mengerti artinya mencintai dan dicintai. Aq menatap lekat wajahnya, dan aku merasakan ada sesuatu yang membuat hatiq merasakan sebuah desakan yang menyejukkan. Aq mungkin g pintar mengungkapkan semua perasaanq, yang q tau hatiq berdetak lebih cepat saat aku membalas uluran tangannya. Tapi saat itu aq mengingkari semua yang q rasakan karna aq g tahu ap yang sebenarnya aku rasakan. Aq terus berusaha menguasai emosiq, aq g boleh terlihat memalukan di depannya. Hanya karna perasaan yang menurutq g punya arti. Saat itu juga sahabatq meninggalkanq hanya berdua dengannya di cafĂ© itu. Dan aq tentu saja g tahu mesti memulai pembicaraan tentang apa atau harus diam saja menantinya yang mengajakq bicara terlebih dulu. Akhirnya emosi menguasai aq. Aq hanya diam, sampai akhirnya dy mengajakq bicara tentang sesuatu yang menurutq susah untuk q jawab. Sebenarnya bukan susah, hanya saja aq dikuasai perasaan yang aq sendiri g tahu maksudnya. Yang aq tahu, sejak q menatap wajahnya, hatiku dikuasai sebuah getaran yang menyejukkan. Aq semakin jauh masuk ke dalam topik pembicaraan yang sama sekali tak q mengerti. Tapi demi dy, aq rela membiarkan telingaq yang semestinya tak begitu tertarik dengan topik itu untuk mendengarkannya hingga jauh lebih tak q mengerti lagi. Setiap kali dy tersenyum, senyum itu membawa aq masuk lebih dalam lagi ke dalam imajinasi yang g jelas. Tentu saja, karna ternyata, itu adalah awal dari perasaan yang q rasakan hingga saat ini.  Setelah pertemuan itu, aq g bisa melupakan sosoknya yang begitu istimewa. Terkadang, aq tersenyum sendiri jika aq sedang mengingatnya. Y, yang lebih utama itu adalah mengingat wajahnya dan tentu saja senyumnya. Zista, mendengar namanya saja, aq seperti mendengar alunan musik yang indah yang mengalun menyejukkan relung jiwa setiap orang yang mendengarnya. Y, dan tentu saja jiwaq….. Aq mulai dekat dengan dy setelah pertemuanq yang ke dua. Senyumnya makin sulit untuk aq lupakan. Mungkin saat ini aq mengerti apa yang dulu q rasakan. Tapi dulu, aq sama sekali g tahu ap yang sebenarnya ada di dalam hatiq. Yang q tahu, aq mulai mengaguminya. Hm…… semua tentang dirinya….Sejak pertemuanq dengannya yang ke dua, dy mulai mendekat. Dan tanpa sadar aq semakin jauh melangkah masuk ke dalam kehidupannya. Mulai dengan smsan, telpon, dan janji untuk kesekian kalinya bertemu dan hanya berdua. Dengannya hanya dengannya saja tanpa orang lain. Dan yang paling berkesan adalah pertemuanq yang ketiga dengannya. Aq juga g pernah menyangka kalau hari itu akn menjadi hari yang paling indah menurutq. Dan g pernah sedetikpun q lupakan hingga saat ini. Masih membekas semua yang dulu pernah kita jalani saat itu. Hari tu, tanpa q sangka, dy memegang tanganq dan berkata padaq, tentang perasaannya padaq. Tentu saja, dy menyatakan semuanya dan menyuruhq untuk menjawab semua pertanyaannya. Sedang aq, jelas banget g tahu mesti menjawab dengan jawaban seperti apa. Hingga akhirnya aq menjawab hanya dengan 1 kata. Yaaaa…….. Sejak saat itu, kami melewati hari-hari bersama. Dy sering sekali mengajakq untuk menjalani hidup tanpa rekayasa. Hidup yang sebenarnya, hidup tanpa kemunafikan. Karna dy g pernah mengajariq untuk bohong. Dan karena itulah, hingga saat ini aq bisa merasakan setidaknya sedikit bagaimana kehidupan Zhista yang begitu ringan. Menurutq. Karna aq g tahu beban hidup yang ternyata dy miliki sendiri. Tahun baru,, saat-saat yang juga g pernah bisa aq lupakan. Malam itu, Zhista begitu berbeda, selama 3 bulan qt bersama, dy g pernah mengeluh tentang hidup. Aneh, tapi itu yang membuatq kagum. Sangat kagum. Malam itu, dy mengucapkan kalimat yang sama sekali g pernah aq dengar dari siapapun. Dy bilang, dy sayang banget sm aq, dy juga bilang, dy g kan pernah melepaskan aq. Dy akan membuatq menjadi seseorang yang bahkan paling bahagia di hidupnya, tapi dy juga bilang, jika aq bisa…. Aq sama sekali g tahu apa maksudnya. Tapi aq berusaha untuk berpikir positif dan percaya dy udah berusaha membuatq bahagia. 1 klimat yang g bisa aq lupa. Dy bilang, “hidupmu itu indah, dan aq adalah orang yang paling beruntung bisa merasakan keindahan itu di awal dari akhir” saat itu aq g berpikir tentang maksud perkataannya. Yang aq tahu, aq sangat mencintainya. Cinta yang memang g pernah aq mengerti maknanya sampai sekarang. Sejak saat itu, aq merasa semakin membutuhkan dy dalam hidupq. Tapi, suatu hal membuatq harus melepasnya. Dy berusaha membuatq membencinya. Dan berhasil, aq membencinya. Tanpa aq biarkan orang-orang disekitarq berusaha untuk meyakinkanq Zhista itu g seperti yang aq pikir. Bahkan kakaknyapun, rela telpon aq dan menangis. Dy bilang jika aq masih ingin bertemu dengan Zhista, aq harus datang menemuinya saat itu juga. Tapi sayang amarahq mengalahkan rasa sayangq. Aq g peduli dengan semua perkataan mereka tentang Zhista, yang q tahu, Zhista membuatq sakit. Sangat sakit. Hari senin, seusai sekolah, sahabatq membawaq kesuatu tempat, bukan membawa tepatnya memaksa. Tempat itu sangat sepi, ya, udah pasti sepi, karna di tempat itu, banyak orang yang mulai lelah dapat beristirahat dengan tenang untuk selamanya. Tempat itu memang tempat yang nyaman untuk mendapatkan ketenangan bagi mereka yang memilih tinggal di sana. Aq berhenti tepat di depan rumah baru seseorang. Rumah baru Zhista tepatnya, rupanya Zhista memilih untuk tinggal disana selamanya. Aq yang melihat semua itu hanya bisa diam, aq g menyangka, Zhista akan meninggalkanq secepat ini. Bahkan dsaat aq membiarkan amarahq menguasaiq. Padahal, Zhista g pantes mendapatkannya. Seketika itu juga aq merasa lemas. Air mataq menetes bak air hujan yang turun disaat panas menghiasi dunia. Sebelumnya, Zhista g pernah mengeluh sakit, sama sekali g pernah. Dan ternyata ini semua maksud dari perkataannya waktu malam itu. Aq terdiam, teringat olehq semua kenangan yang uda kita lakukan bersama selama ini. Kenanganq bersama seseorang yang membuatq mengerti sedikittentang arti hidup yang sesungguhnya. Dy banyak mengajarkanq untuk tegar dan mau menerima semua yang ada dalam hidup ini dengan ikhlas. Aq g pernah salah, dy memang begitu istimewa untuk hidupq. Meski kanker itu menggerogoti tubuhnya hingga membuatnya terpaksa harus mencari tempat baru yang tenang untuk ia tinggali selamanya. Selamat tidur kekasihq tersayang, aq minta maaf karna aq udah mengira kamu itu jahat. Tapi asal kamu tahu, saat itu meski aq bilang aq membencimu, aq tetap sangat mencintaimu. Aq tetap ingin melihatmu tertawa lepas seperti saat kita masih bersama dulu. Maafin aq, karena disaat-saat terakhirmu, aq g ada disampingmu, untuk memberimu semangat. Tapi aq yakin, meski saat itu aq g ada kamu tetap memiliki semangat yang g dimiliki orang lain. Karena Zhistaq, adalah Zhista yang tegar. Selamat tidur sayang, Terimakasih karna kamu memberikanq banyak hal. Dan terimakasih, kamu udah mengizinkanq untuk masuk di dalam kehidupanmu

Cinta Sesaat

Cinta begitu sulit untuk diartikan, terkadang kita tidak bisa mengartikan getaran yang kita rasakan adalah cinta atau hanya rasa sayang yang berlebihan karena adanya kedekatan. sebenarnya tak ada yang salah dengan perasaan yang mulai aku rasakan pada salah satu teman sekelasku, aku hanya merasa nyaman berada dekatnya, aman disampingnya, senang bila ada yang menyebut namanya dan masih banyak lagi perasaan-perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. tapi yang jadi masalah adalah apakah semua perasaan yang aku rasakan itu cinta ? ahh.. aku lelah memikirkan itu. kubiarkan perasaan itu bersemayam berharap perasaan itu hanya perasaan yang aku anggap lebih karena akhir-akhir ini aku memang dekat dengannya.
“heii...duduk sesuai kelomok !!” seru joni si ketua kelas yang baru masuk kelas sambil membawa setumpuk poto copian. bel masuk baru saja berbunyi, dan aku menegang saat itu juga. ahh.. aku benci keadaan ini, jantungku mulai berdebar tak karuan. dan sedetik kemudian debaran itu semakin kencang begitu seseorang yang aku maksud di awal muncul dari balik pintu. Reza berjalan pelan dengan senyum yang... ‘ya tuhannn.. manis banget !!” aku tersentak mendengar jeritan hatiku barusan, tak bisa kuhindari bayangan ramapun berkelebat di otakku. tidak-tidak tanpa sadar aku menggeleng cepat
“kenapa ?” aku tersadar dari pikiranku, suara halus itu. yaa.. cowok itu sudah berdiri di sisi mejaku, menatapku dengan heran “aku nggak boleh duduk di sini ?”
“hah ?” aku melongok “enggak-enggak, duduk aja kali” aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku-bukuku, tak berani menatapnya yang mungkin juga sedang menatapku. fiuhhh... aku terlalu GR, ternyata dia sedang sibuk dengan dunianya, memutar-mutar benda kubus warna-warni yang entah siapa memberinya nama rubik.
.....................................................................................

tugas kelompok yang tak habis-habisnya juga memaksaku harus banyak menghabiskan waktu dengan reza, ehh... meski nggak berdua sih, masih ada yang lainnya juga. akupun tak menyadari kalau aku hampir saja melupakan seseorang yang tak semestinya aku lupakan. Rama, siang ini ia bela-belain izin pulang cepet dan menungguku di gerbang sekolah. ia memohon kepadaku untuk tidak ikut kerja kelompok siang ini saja. bahkan ia bersikeras untuk memintakkan aku izin kepada riyan ketua kelompokku.
“ayolah sil..siang ini aja, janji !!” rama menatapku dengan tatapan memelas. ya tuhann.. jahatnya aku, sampai-sampai pacarku sendiripun harus memohon untuk waktuku. sesibuk itukah aku sampai-sampai aku melupakan cowok ini ?. mata elang itu masih menatapku, aku makin nelangsa saja dibuatnya.
“oke..” aku mengangguk “ntar aku minta izin sama riyan” senyum ramapun langsung sumbringah.

....................................................................................

Reza meraih tanganku, sudah dari beberapa detik yang lalu ia berjongkok di depanku. dan seperti biasa jantungku bergemuruh ria. aku hanya berharap reza sama sekali tak mendengarnya
“mau nggak jadi cewek gw ?” ucapnya lirih
DEG...!! aku kaget luar biasa, mataku terbelalak sementara mulutku ternganga. benarkah yang kudengar barusan ? Reza menyatakan cinta padaku ? jadi... selama ini reza juga merasakan hal yang sama seperti aku ? aku sama sekali tak mempercayai ini. lagi-lagi bayangan rama berkeleba di otakkku..
“SILVIAAA.....!!!” aku terperanjat mendengar seruan keras tersebut. hah ? riyan ? kok riyan dan yang lainnya ada di sini ? gawat.. apa mereka liat kejadian barusan ? mampus deh gw
“Di dalam naskah, nggak ada adegan melongok-melongok begok kayak gitu dehh...” omel riyan kesal, sambil mengacung-acungkan gumpalan naskah
fiiuhhh....tanpa sadar aku menghela nafas berat dan panjang, ternyata hanya bhongan, hanya acting !! ada sepercik kekecewaan yang masuk ke relung hatiku. bodohnya aku.. sampai-sampai aku tak sadar kalau detik ini aku sedang latihan drama “sory...sory...aku lupa” aku hanya menyeringai lebar menyambut tatapan gemas riyan, dina, sofi, wulan terutama reza. sumpah deh.. aku nggak bisa ngebayangin gimana konyolnya ekspresiku beberapa detik yg lalu.. fiuhh lagi-lagi aku menghela nafas.

...................................................................................

“jadi udah selesai nih ?” tanya rama lirih, tapi tetap dengan senyuman. pekerjaan kelompokku sudah selesai 2 minggu yang lalu, tapi aku baru punya waktu buat rama siang ini.
“iya, maaf ya aku baru punya waktu sekarang” aku menatap rama lekat-lekat. Oh.. tuhan, betapa baik dan pengertiannya cowok ini, ia begitu mengerti keadaanku.
“nggak apa-apa kok, dulu.. aku waktu baru-baru SMA juga kayak gitu” rama tersenyum lebar “oh iya, nihh.. hampir aja lupa” ujarnya lagi, sambil menyodorkan kantong plastik putih “aku beliin 2 lusin sekalian, pasti kamu belum pernah sempet beli”
tuhh... betul kan ? rama emang pacar yang baik, perhatian lagi !! buktinya cowok ini tau, kalo aku lagi pengen banget makan kue yang di tengahnya bolong ini.
“Asyiiikkk...!!” seruku senang, aku lalu meraih satu buah donat yg berlapis misis coklat yang renyah. dan dalam hitungan detik donat itu lenyap. hmmm... yummyy...^^
“enak ya sil ?” tanya rama yang memperhatikanku yang makan dengan lahap, aku mengangguk cepat. di depan rama, aku memang nggak pernah jaim. tapi anehnya, rama nggak pernah ilfeel sama aku. makanya itu, rama perfect banget deh jadi cowok. tapi ya itu masalahnya.. aku susah banget menyangkal, kalo setengah hatiku sudah dicuri cowok lain,,, aku harus gimana ?? aku benar-benar dilema.

..........................................................................................

Dony menatapku dengan kening berkerut, entah apa yang ada di pikirannya sampai-sampai mimik mukanya seserius itu. yang jelas itu tentang aku dan masalahku. sore ini aku sengaja datang ke rumah dony yang selama ini selalu setia mendengarkan semua curhatanku. tak jauh berbeda, aku juga menatapnya bingung, menunggu nasihat yang akan keluar dari mulutnya.
“kamu harus bisa ngelenyapin perasaan itu sil..” akhirnya kata-kata itu yang keluar. aku langsung melongos “aku tau don, aku juga pengen. tapi gimana caranya ?”
dony menarik nafas “sebisa mungkin kamu jauhin reza, gimana mungkin kamu bisa ngelupain reza ? kalau setiap hari kamu sebangku sama dia” aku tertegun mendengar ucapan dony, yaa.. semenjak satu kelompok, mendadak reza memang jadi teman sebangkuku. “tapii...” ucapku menggantung
“mulai besok, kamu duduk bareng aku aja. biar reza nggak ada alasan buat duduk sama kamu” lagi-lagi aku tertegun, dony seolah bisa membaca pikiranku, kata-katanya barusan menjawab pertanyaan yg belum sempat aku lontarkan. “mau nggak ?” dony menunggu jawabanku. yahh.. mungkin memang ini yang terbaik, aku mengangguk samar “iya, makasi ya don..”
“sama-sama” dony menepuk pundakku pelan “yuuk ah..aku antar pulang, udah mau malem nih” aku beranjak dari dudukku dan mengekor di belakangnya.

.................................................................................

3 minggu sudah berlalu sejak aku memutuskan untuk menjauhi reza. sebisa mungkin selama di sekolah dony selalu jadi pengawalku, meski berlebihan memang begitulah kenyataannya. reza sendiri tak merasa aneh dengan sikapku yang akhir-akhir ini menjauhinya, dan ia juga tanpak biasa-biasa saja. kini selama aku duduk dengan dony, ia lebih sering duduk dengan sofi atau enggak wulan. meski samar aku bisa emlihat perlakuan reza terhadap sofi, wulan dan cewek-cewek lain di kelasku tak ada bedanya dengan perlakuan reza padaku. jadi selama ini aku saja yang terlalu berlebihan menganggap reza memperlakukanku secara spesial, reza memang baik dan dia baik pada semua orang tak terkecuali padaku. dan itulah bodohnya aku, mengapa aku baru menyadarinya sekarang ?
“heyy....heyy...” Reza melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku, aku tentu saja kaget. ternyata tanpa sadar dari tadi aku sedang memperhatikan reza. hari ini dony tidak masuk katanya sih sakit, jadi aku nggak punya alasan deh untuk nolak ketika reza ingin duduk di bangku sebelahku.
“aku taulah aku cakep, tapi nggak usah ngeliatin aku kayak gitu deh” canda reza narsis
“hah ? ngeliatin kamu ? hueekk” aku pura-pur muntah “nggak banget deh” elakku
reza tertawa renyah melihat tingkahku, huh.. 3 minggu ya aku nggak pernah bercanda kayak gini sama ni cowok ? aku menarik nafas pelan, sambil kembali sibuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket. tapi baru saja aku menjawab satu soal, aku menyadari suatu hal... ternyata dari tadi aku duduk dengan reza, aku sama sekali tak merasakan perasaan itu lagi. jantungku tidak berdebar-debar lagi kayak seperti kemaren-kemaren, yahhh apa perasaan itu hilang ?? apapun itu saat ini aku sangat senang. dan kalian tau, siapa yang ada di pikiranku saat ini ?? yupzzz Rama..^^

.........................................................................................................

“cepetan dong ramm..” aku berseru sambil berlari-lari kecil menghampiri deburan ombak yang tanpak tenang. rama menyusulku setelah memarkir motornya di bawah salah satu pohon rindang di pinggir pantai.
2 bulan waktu yang cukup lama untuk meyakinkanku bahwa perasaanku pada reza benar-benar sudah hilang, bahkan mungkin sebenarnya perasaan itu memang tak ada, tapi hanya aku saja yang menganggapnya ada.
“kamu kok tumben sih ngajak aku ke pantai ?” tanya rama begitu duduk di sampingku. aku memejamkan mataku sejenak, kubiarkan angin pantai menerpa wajahku, kupenuhi paru-paruku dengan udara lalu menghembuskannya bersamaan dengan terbukanya mataku.
“kamu ingat hari ini hari apa ?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari hamparan laut tiada batas di depanku.
“emang hari apa ?” rama mengikuti arah pandangku “hari minggu kan ? masak lupa” aku tertawa lirih, aku tau rama hanya bercanda dengan pura-pura lupa “hari ini kan tepat satu tahun kita jadian”
“oh ya ?” rama pura-pura kaget lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum penuh arti “tentu saja aku ingat” rama lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya “dan ini hadiah buat kamu” yahhh seuntai kalung.. tentu saja rama ingat, bahkan ia sempat memberikan aku hadiah. sedangkan aku ? kalau saja tadi pagi dony tak mengingatkanku, aku pasti sudah lupa. thanksss donn... ucapku dalam hati.
“udahh... gimana ? suka nggak ?” tanya rama begitu selesai menyematkan kalung itu di leherku
“mm... suka banget, thankss ya” lalu aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal “umm.. tapi, maaf ya ramm.. aku nggak sempet beliin kamu sesuatu” ucapku penuh penyesalan
“hahhaha.. nggak apa-apa lagi sill, aku kan nggak lagi ultah” ucapnya sambil tertawa
“tapi kann...”
“udahlahh... photoan yuukkk !!” ajaknya seraya berdiri, diulurkannya tangannya untuk membantuku berdiri, “minta bantuan siapa yaaa ?” aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin mau jadi sukarelawan
“paaakkk....!!” aku melambaikan tanganku pada seorang bapak yang sedang berlari-lari sore
“iya ?” bapak itu menghampiri
“bisa minta tolong photoin kami berdua nggak pak ?” pinta rama sopan. dan bapak itupun dengan senang hati menerima uluran kamera dari rama. setelah aku dan rama memasang pose sekeren mungkin, bapak itu mulai menghitung bak photografer profesional “yakk... satu...duaaa....”
KLIK... dan moment itupun terabadikan untuk selamanya...^^

kumpulan cerpen ROMANTIS

Surat untuk kekasih

Maaf, bukan maksudku untuk menjadikanmu boneka dalam kisah ini. Sungguh aku tak bermaksud seperti itu. Atas nama persahabatanlah aku lakukan semua ini. Bukan maksudku tak menggangapmu ada. Andai saja aku bisa mengatakan semua kenyataan ini. Biarlah gemuruh petir dan derasnya hujan di malam ini yang menjadi saksi. Maaf bukan maksudku merekayasa keadaan. Sungguh aku tak bermaksud mempermainkan takdir. Maaf, bukan maksudku membohongi nurani. Hanya saja aku tak sanggup melihat kenyataan. Apakah kau percaya bahwa tiap kisah cinta itu selalu happy ending? Aku tak pernah percaya itu. Adakalanya kisah cinta itu bukan happy ending. Apakah kau ingat kisah cinta Romeo and Juliet atau kisah cinta Laila Majnun? Jadi kau tak perlu khawatir. Tak selamanya kisah cinta selalu berakhir dengan senyuman.            Apakah kau tahu mengapa aku lebih memilih persahabatan daripada cinta? Pasti kau tahu apa jawabnya. Pengorbanan sahabatku untuk mendapatkan cintamu lebih besar. Aku sendiri yang melihatnya. Saat hujan deras di sore hari, ketika dia mendengar kau jatuh sakit, dia berlari tak meperdulikan hujan dan senandung petir yang bergemuruh. Padahal saat itu, tak ada satu kendaraan umumpun melintas. Dia terus berlari menuju rumahmu yang terletak tidak jauh dari taman kota tempat kita biasa menghabiskan waktu untuk melihat pelangi setelah hujan. Tapi sayang, saat itu kau sedang tertidur lelap dan dia tak berani mengusik alam mimpimu. Apa itu belum cukup untuk membuktikan cintanya? Oh ya, apa kau juga masih ingat ? Saat kau lupa membawa peralatan untuk melukis, padahal waktu itu kita sedang ujian praktek menggambar. Dia yang memberikan semua perlatan melukisnya untukmu. Dia rela dihukum di bawah terik matahari demi kau. Apa itu semua masih belum cukup?Maaf kalau aku tak pernah melakukan apa-apa demi kau. Karna itu, aku menginginkanmu untuk merajut kisah cintamu dengan sahabatku. Aku yakin kisah itu tak akan berakhir dengan air mata. Aku yakin Romeo and Juliet ataupun Lailai majnun tak akan terjadi pada kisah kalian. Yakinlah kasih! Bukan dengaku kisah itu akan berakhir bahagia. Anggaplah ini semua pengorbanan cintaku untukmu. Biarlah aku sendiri yang merasakan akhir yang menyedihkan. Karna ini adalah pengorbanan dan bukan kekalahan. Kau tak perlu khawatir. Jika kau perduli denganku, pergilah bersamanya dan ciptakan kisah cinta yang indah. Kelak jika waktu mempertemukan kita kembali, ceritakanlah kisah indah itu padaku. Agar aku percaya bahwa masih ada kisah cinta yang berakhir dengan senyuman. Jika waktu tak berpihak, biarlah kisah cinta yang indah itu terlukis pada rangkaian warna pelangi yang akan muncul setelah hujan atau terangkai pada nyayian pipit yang menyambut senyum sang mentari dan bersinar bersama cahaya kunang-kunang di tengah redupnya alam.            Kasih percayalah, Hujan kemarin sore akan memunculkan pelangi yang keindahannya kekal di hati tiap insan yang memiliki cinta. Tenanglah kasih! Jangan kau pedulikan tangisku karna ini tangis yang akan melahirkan pelangi adi warna. Aku yakin, dengan kelembutan dan kehangatan yang dimiliki sahabatku, pelangi itu akan selalu hadir di hatimu sebagai insan yang memiliki cinta.

MY CERPEN

Kenangan di kala Hujan (based on the true strory)

Dalam keheningan malam,aku terdiam membisu,teringat aku akan kenangan dua tahun  lalu, saat kita masih bersama terbius dalam lakon kisah klasik masa remaja yang indah. Entahlah apa yang terjadi, tiap kali aku melihat bintang, aku seperti melihat pancaran sinar matamu yang berhasil menggodaku terjebak dalam kesalahan termanis. Yah! Mencintaimu adalah kesalahan bagiku, namun mencintaimu adalah dosa terindah yang pernah kuperbuat. Entah apa yang ada dalam pikiranku, tiap kali kumelihat sinar matamu, maka tiap kali juga aku melihat fatamorgana surga yang sebenarnya adalah neraka. “Tidak ini tidak boleh terjadi”,bisik malaikat dalam hati yang mencoba menyadarkanku Aku sendiri yang telah membuat keadaan seperti ini. Aku sendiri yang telah menjodohkanmu dengan sahabatku. Hingga akhirnya misi ini berhasil, tiba-tiba kau datang padaku dengan mengucap kata cinta yang berhasil membuatku melayang tinggi. Higga akhirnya aku sadar dan terjatuh kembali. Seharusnya kata cinta itu bukan buatku, seharusnya kau ucap itu untuk sahabatku. Yah, untuk sahabatku, Maya. Dia lebih berhak, Pengorbanannya untukmu lebih besar, bahkan mungkin dialah yang lebih bisa membuat harimu lebih berwarna dengan kehangatan dan kelembutan yang dia miliki. Kenapa kau ucapkan kata itu untukku? Tak sepantasnya aku mendengar kata cinta itu darimu.“Nur,kenapa kau diam?Kau tak suka denganku. Aku tahu kau selalu berusaha mendekatkanku dengan sahabatmu itu, tapi Nur, bukan dia yang aku mau”,tuturnya penuh dengan kelembutan. “Kenapa,?”tanyaku mencoba mencari tahu alasannya. “Kenapa kau bilang? Bukannya dari dulu kita sudah saling mengenal. Aku lebih mengenalmu daripada Maya dan aku lebih suka kepribadianmu daripada Maya. Sebelum kau mempertemukanku dengan Maya, aku sudah jatuh hati padamu Nur,hingga akhirnya kau mencoba untuk mendekatkanku dengan Maya. Aku pikir jika aku dekat dengan Maya, aku akan memiliki banyak kesempatan untuk melihat senyummu bahkan membuatmu jatuh hati. Tapi sayang sekali, dugaanku ternyata salah, tak sedikitpun kau menoleh padaku. Bahkan kau selalu berusaha membuat waktu agar aku dan Maya bisa jalan berdua..” Mendengar kata-kata emosional dari Ardian, lelaki yang berusaha aku jodohkan dengan sahabatku Maya membuatku terdiam seribu bahasa. Tak sepatah katapun bisa aku lontarkan untuk membalas pernyataan yang berhasil membuatku kalah telak. “Kenapa kau lagi-lagi diam Nur, ayo jawab pertanyaanku Nur. Kenapa kau hanya diam Nur? Padahal kau tak pernah kalah dalam adu argumen, kau paling jago Nur kalau adu argumen. Tapi kenapa kali ini kau hanya diam? Ah! Mungkin kau benar-benar tak pernah menganggapku, ya sudahlah kalau begitu.” Ardian berlalu pergi sambil meninggalkan penyesalan dalam hati. Andai saja kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Andai saja kau ucapkan kata cinta itu dari dulu, sebelum Maya memintaku untuk menjadi perantara agar bisa dekat denganmu. Aku tak mungkin katakan yang sebenarnya . Pengorbanan Maya untukmu lebih besar daripada aku. Bahkan cinta Maya untukmu juga lebih besar. Sementara aku, aku tak pernah berbuat sedikitpun untuk menunjukan rasa sayang padamu. Lagipula, aku tak mungkin menghancurkan perasaan sahabatku sendiri. Aku yang telah membuat kalian lebih dekat. Hingga sahabatku Maya jatuh amat dalam pada perasaan cinta dan sayang untukmu Ardian. Seandainya aku bisa katakan semua ini dihadapanmu. Seandainya kau bisa mendengar langsung kenyataan ini. Kali ini, aku hanya bisa mengatakan kenyataan ini di bawah derasnya hujan agar kau tak bisa mendengarnya. Biarlah gemuruh petir dan derasnya hujan yang mendengarnya karena aku tak ingin melukai kalian. Aku tahu kau pasti bahagia dengannya. Aku yakin Maya pasti bisa memberikan kebahagiaan dan warna yang cerah dalam harimu. Aku yakin itu.

CERPEN HOROR

FACEBOOK MISTERI

Entah mengapa aku rasakan seolah-olah malam ini begitu lama,aku mencoba untuk memaksa mata ini terpejam namun belum bisa juga,rasa kantukku belum juga datang kutengok jam di hp ku sudah menunjukkan pukul 00.30,wah sudah lewat tengah malam fikirku.Kayakny begadang lagi malam... ini, aku pun memutuskan untuk online sampai pagi.Migg33 aku buka tidak lupa akupun logn IM Facebook siapa tahu ada teman yang masih online disana, satu persatu aku perhatikan daftar nama-nama dikontakku yang memang mash ada sebagian yang OL, Wah...rupanya temen jauh semua, temen dunia maya,itupun aku kenal dari IM tersebut,sementara teman dekat ku mereka offline semua...Tapi...apa ini...Mendadak aku mengeluarkan keringat dingin, aku tersentak kaget inikan...Untuk memastikan aku mencoba untuk menyelidiki lebh jauh dengan membuka profilnya,tidak salah lagi ini kan teman aku yang baru saja meninggal 3 hari yang lalu...hii...mendadak sekujur tubuh ku merinding semua.Seisi kampus menjadi geger mendengarkan cerita yang aku alami semalam, bermacam-macam asumsi yang mereka lontarkan...bahkan sebagian dari mereka beranggapan arwah Ardi gentayangan dikarenakan kematiannya yang kurang wajar, dilain pihak mereka beranggapan bahwa yg OL semalam bisa saja orang terdekat ardi yang sengaja memakai nick nya dia.Apapun alasanny tetap saja berita kematian Ardi menjadi bahan pembicaraan hangat dikampus ku. Sungguh sangat mengenaskan jasad Ardi ditemukan terapung disungai dengan kondisi terikat dengan luka tusuk dibagian perutny, siapa yang tega melakukan ini semua?...padahal selama ini Ardi yang aku kenal adalah seorang yang baik dan tidak pernah membuat keonaran kepada siapun.''Rudi....!!!''... Aku tersadar dari lamunanku, aku mendengar suara yang tidak asing lagi ditelingaku... Dan ternyata adalah anggi yang datang menghampiriku mulanya aku menawarkan senyuman sebelum akhirnya dia menamparku dgn begitu keras aku rasakan''Plaaaaaaaaaaaaaaaaaaak'' laksana seribu petir menyambar-nyambar di sekujur tubuhku, ada apa?,kenapa wanita ini, aku heran sambil memegang pipiku yang sedikit pedas akibat tamparannya, Mimpi apa aku semalam hingga mendapat kan perlakuan seperti ini, bukan hanya sakitnya yang aku rasakan sekaligus malu harga diriku sebagai seorang laki-laki dikemanakan mendapat perlakuan ini di depan umum,dihadapan teman-teman ku bahkan seniorku dikampus ini. kalau saja bukan perempuan aku balas dengan perlakuan serupa, entahlah apapula yang aku lukiskan untuk menggambarkan kekesalan ini. ''Dasar gak berperasaan kamu Rud...''Perempuan ini menangis setelah menamparku kemudian pergi berlalu meninggalkan ku begitu saja, aku tertegun,sejuta keanehan sekaligus penasaran mulai datang di celah-celah otakku, kenapa?. Ada apa ini?. ''wah kenpa rud?. Kalian bertengkar ya?...ada masalah apa?'' kata salah satu seniorku''masalah percintaan ya???''ledeknya lagi''wah ternyata kamu buaya darat juga rud, baru 4 hari kematian Si Rudi Eh...anggi langsung elo, sambar''.Apa....??? Dalam fikiranku mulai teringat sesuatu, wah pantas aku baru ingat sekarang,Anggi itukan pernah menjalin hubungan bersama Ardi, mungkin dia merasa tersinggung, bodoh nya lagi kenapa cerita semalam aku sebarkan ke teman-teman sekampus...ah...parah...dia kan baru kemarin meninggal bisa dibayangkan betapa sakit dan hancurny perasaan Anggi saat ini'' Hei...kawan...kenapa melamun kalau masih cinta kejar sana minta maaflah padanya''iiikh...lama kelamaan bikin jengkel juga kelakuan nya, kalau begini terus-terusan tidak memandang seniorku atau bukan''Hei...jaga mulut kamu...'' kataku geram sambil mencengkram kerah baju seniorku itu...melihat keadaan ini teman-teman yang lain spontan menengah-nengahi kami''sudah Rud, knp sih apa yang kalian ributkan'' kata teman-temanku mencoba untuk meredam emosiku''hei...man kenapa emosi..nyantai sajalah...''kata seniorku yang menyebalkan tadi. Ingin rasanya aku menampar mulutnya yang lancang itu, namun aku hentikan aku menahan emosi sebisaku aku berniat meninggalkan tempat itu... ah yang terpenting bagaimana caranya agar supaya anggi memaafkanku, mungkin dia kesal padaku,aku harus menemuinya dan meminta maaf.***Hei...Aneh sekali malam ini akurasakan...tiba-tiba saja angin berhembus begitukencangnya...Sesekali kilat menyambar-nyambar, akuhentikan sejenak aktifitasku didepan komputer...aku menyongsong kearah jendela kamar ku yang tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya...tak mau air hujan membasahi tempattidur ku segera aku tutup kembali dan aku kunci rapat-rapat Akupun kembali dengan perasaan tegang mencoba mengutak-atik dan membuka file-file di komputerku...aku lihat jendelafacebook masih terbuka karena memang dari tadi aku masih asyik memainkannya. ''Hah...Apa ini'' Aku tertegun, meliha photo di profil Ardi, siapa yang merubah...terlihat menyeramkan, merinding aku dibuatnya ,ditengah ketegangan yang aku alami sekarang tiba-tib saja handphone ku berdering...''brengsek bikin kaget saja!!!''aku langsung meraih ponsel tersebut... Video Call''Ardi memanggil '' wah...benar-benar gila sebenarnya ini ulah siapa, isengkah???,keluarga Ardi kah yang melakukan nya, tapi untuk apa...???. Amarahku mulai memuncak letupan-letupan kawah berapi mulai aku rasakan, terbesit keinginanku untuk memperingati,peneror sialan ini... Namun apa yang terjadi ketika telfon tersebut aku angkat dalam layar handphone terlihat jelas seraut wajah yang sangat mengerikan menyeringai menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam aku semakin menggigil ketakutan ''Tidak mungkin...Tidak mungkin...Tidak mungkin...'' aku histeris berteriak sekuat tenaga mendadak tiba-tiba.."Haaah...aneh dimana ini rasanya aku melihat mamah dan papah disebelahku. ''Ada apa mah, pah?''Tanya ku pada mereka, merekapun menatapku keheranan ''Enak saja ada apa... seharusnya papah yang bertanya, malam- malam begini teriak-teriak, kayak orang gila saja, makanya jangan suka menonton film horror sebelum tidur,ini akibatnya.'' Kata papah sambil mematikan komputer di atas mejaku. '' sudah tidur lagi sana baru jam 01.00,pindah ketempat tidurmu...lain kali kalau mau tidur matikan dulu komputerny,bikin boros saja''Rupanya aku tertidur dimeja belajarku... Duh...kena teguran lagi aku. Ternyata yang aku alami semuanya adalah mimpi...Waaah...bakal seru nih ceritanya...Apa yang akan dikatakan Ardi ya kalau seandainya aku menceritakan mimpi ku padanya...Hahaha...mungkin dia akan memukuliku karena telah memimpikan dia mati...

Sekolah Angker

 
   Hari ini aku bermimpi tentang anak kecil, didalam mimpiku ada seorang anak yang sedang menangis, matanya merah, mukanya pucat pasi, badannya dingin sekali, seperti sesosok makhluk halus.Aku tidak menghiraukan mimpi itu, yang aku pikirkan adalah hari pertama masuk SMA, aku keluar dari kamar, aku langsung menyambar tasku, lalu aku memasuki mobil Ferrari milik Papa.Aku sampai digedung sekolah yang sudah tua, akan tetapi masih terlihat bersih, aku memasuki kelas 10-1, kelas itu sangat tua, aku duduk dibangku pojok dekat dinding, didinding itu ada beberapa bercak darah, dan ada tuliasan dari darah “Tolong Aku !” aku langsung merinding, lalu aku pergi keluar kelas.Aku pergi ketaman sekolah, disana ada anak perempuan yang cantik, dia sekelas denganku, dan namanya Violet
“Hai Violet, salam kenal”sapaku
“Dari mana kamu tau namaku ?”tanyanya heran
“Dari bajumu, namaku Dhean”jawabku sambil memperkenalkan diri
“Oh…., salam kenal Dhean”sapanya balik, lalu kami memasuki kelas bersama, aku senang bisa mempunyai teman dihari pertama masuk, tetapi aku tidak tau, apakah kami akan jadi sahabat ? Violet dan aku berbincang-bincang dibangkunya
“Dhe, bangku kamu dimana ? Aku mau sebangku denganmu”tanya Violet
“Bangkuku dipojok sana”jawabku sambil menunjukkan bangku yang aku duduki
“………”kata Violet tak berkutik, ia seperti sedang memikirkan sesuatu
"Kenapa Vio ?”tanyaku
“E..anu itu m… a..ku r..asa.. lebih b..aik k..kamu p..i..ndah da..ri si..situ de..h”jawabnya gugup, atau mungkin takut
“Kenapa aku harus pindah ?”tanyaku heran, ada apa dengan Vio
“Sudah kamu pindah kesini saja, aku mohon, aku tidak mau kamu terluka disana”jawabnya memohon
“Ah.. sudahlah aku duduk disana saja, tidak apa kok”kataku santai saja, sebenarnya dadaku sudah berdetak dengan kencangnya.Bel sekolah berbunyi, aku langsung duduk dibangkuku sendiri, Vio terus menatapku, atau mungkin menatap bangkuku ? Selama pelajaran, rasanya tidak nyaman, saat aku mau mencatat pelajaran yang ada dipapan, tiba-tiba bukuku ada tulisan berwarna merah “Hallo Dhe, Kamu mau jadi temanku ? Aku akan menjagamu kapan saja, kamu maukan ? Aku Silvi, ayo main denganku dialamku, tetapi kamu tidak akan kembali, aku akan kasi sebuah benda arti persahabatan kita, didalam tasmu” aku langsung merinding, aku mengecek tasku, ternyata benar didalam ada sehelai selendang berwarna biru, dan ada kertas bertulisan “Ini, ambillah, sekarang kamu jadi sahabatku, beberapa minggu lagi, aku akan menjemputmu” aku langsung merinding.
  Bel pulang berbunyi, aku keluar dari kelas, apa yang harusku lakukan ? Vio mengejarku
“Dhe, sudahku bilang jangan duduk disana, aku tau semuanya, aku punya indra ke-6, aku dapat melihat, merasakan, dan berbicara pada makhluk halus, kamu mengerti sekarang, aku tau semuanya selama tadi kamu dikelas, dia meminta menjadi temanmu, dan kamu mau !”kata Vio, aku takut sekali
“Apa yang harus aku lakukan Vi ?”tanya sedih
“Itu semua salahmu, siapa suruh kamu mengambil selendang itu !”jawab Vio, dia terlihat kesal sekali
“Kamu jangan marah Vi, aku bingung, ku mohon, aku butuh bantuanmu”mohonku memelas
“Hanya satu cara, kamu harus cari tau siapa Silvi itu !”jawab Vio mantap, lalu kami pergi keperpustakaan sejarah, aku mencari buku tentang sekolahku, ketemu !
“Vi, ini bukunya”kataku
“Ayo baca”kata Vio mantap, lalu kami membuka halaman pertama
“SMA 1 dikenal dengan keangkerannya, diberita tersebar tentang SMA ini, dahulu pada tahun 1999 terjadi kebakaran, disebabkan terjadinya korsleting, korbannya adalah para guru dan siswa, salah satu korbannya adalah  Cindy, yang mati mengenaskan, dikabarkan bahwa sampai sekarang arwahnya masih bergentayangan, lalu pada tahun 2000 terjadi pembunuhan  yang mengenaskan, kebanyakan siswa perempuan diperkosa dahulu, lalu dibunuh, salah satu korban yang dikabarkan masih gentayangan adalah Silvi, dan 2 sahabatnya Fania dan Gisela, mereka gentayangan kerena dendam yang mereka rasakan belum hilang, dikabarkan mereka selalu mencari korban yang duduk dipojok kanan, yang dahulu dipakai para pembunuh untuk memperkosa mereka, dan juga tempat pembunuhan” aku merinding membaca berita itu, apa aku akan jadi teman mereka, dan apakah aku tak akan bertemu semua orang yang aku cintai lagi ? Aku binggung setengah mati.Stop dulu ya kehabisan akal ni -_- ntar tunggu dipart ke 2

CERPEN

Perampok




MENGGIGIL tubuh Rasti, berjalan cepat menerobos udara subuh. Berkali-kali ia mengeratkan jaket, berusaha mengusir dingin. Kabut masih mengeremang di udara, terkadang menghalang pandang mata Rasti yang sembab merah. Semalam Rasti hanya tidur beberapa jam. Beberapa jam yang sangat menggelisahkan. Pandu, anak laki-laki semata wayangnya sudah dua hari demam, tergolek di atas ranjang. Tapi bukan itu yang membuat Rasti gelisah. Bukan. Siang nanti ia bisa membawa Pandu ke dokter dan pasti sembuh. Rasti selalu percaya pada para dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat.

Pandu masih tidur nyenyak sewaktu Rasti keluar rumah. Rasti sebenarnya bisa mengajak Pandu, menggendongnya di belakang dengan kain jarik. Mungkin Pandu akan tetap tidur nyenyak di gendongannya hingga ia kembali ke rumah. Menyiapkan makan pagi dan siang sedikit berangkat ke dokter. Tapi Rasti tak tega melihat dirinya tampak begitu hina, seperti pengemis, di depan Palwito, suaminya. Rasti tak tahu apa yang akan dikatakan Palwito jika pagi-pagi buta ia datang mengetuk pintu sambil menggendong Pandu. Bagaimana tatap mata Palwito. Perasaan Palwito. Ah…

Tapi rumah itu masih gelap. Tubuh Rasti kian menggigil. Kedua lututnya tiba-tiba gemetar. Rasti masih ingat, dulu ia pernah berjanji tak akan sudi menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi nyatanya pagi ini ia harus datang. Pagi ini ia harus ketemu Palwito yang sudah enam hari tak pulang. Ya, pagi ini ia harus berjuang mati-matian menjaga perasaannya sendiri. Ah, apa yang sedang dilakukan Palwito di dalam rumah itu? Rasti tiba-tiba merasa batinnya perih. Rumah di depannya jauh lebih bagus dari rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ia tempati. Warna catnya masih baru. Juga kursi ukir di teras. Pot-pot bunga. Lampu hias.

Sekali lagi mengeratkan jaket, dengan lutut gemetar Rasti melangkah pelan. Rasti tak ingin membuang waktu sia-sia. Halaman rumah itu kurang begitu nyaman untuk berdiri menegakkan tubuhnya yang menggigil gemetar. Ia harus segera ketemu Palwito. Ya, hanya Palwito. Bukan yang lain. Rasti terus melangkah pelan, hati-hati, takut menginjak ranting kering dan menimbulkan bunyi. Rasti tak ingin membangunkan orang lain di pagi buta kecuali Palwito, suaminya!

Rasti kini telah berdiri di depan pintu. Sebentar lagi ia akan mengetuk pintu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito yang muncul dari balik pintu. Sebentar lagi ia akan bertatap muka dan bicara dengan Palwito. Rasti sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia muntahkan dari mulutnya. Tentu Palwito hanya mengenakan sarung dan kaus oblong kusam, lubang-lubang. Atau celana pendek butut dan telanjang dada. Rambutnya kusut acak-acakan. Rasti tahu kebiasaan Palwito yang tak pernah berubah dari dulu.

Tapi, ah, benarkah kebiasaan buruk itu masih berlangsung di sini? Masih adakah kaus kusam dan celana pendek butut? Bagaimana jika tiba-tiba Palwito muncul dengan piyama halus dan wangi? Rambutnya disisir rapi? Bukankah….

Rasti tersentak. Pikiran semacam itu tak pernah muncul dalam otaknya. Tak juga semalam ketika gelisah tak bisa tidur. Sesaat Rasti memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia hanya mengenakan daster dirangkap jaket kulit dan sandal jepit usang melekat di kedua kakinya yang kotor lumpur lantaran jalan becek sisa hujan kemarin siang. Rasti kemudian meraba-raba rambutnya. Ah, ia terburu-buru hingga lupa tak sempat sisiran. Rambutnya hanya ia ikat dengan tali karet yang tanpa sengaja ia temukan di dapur. Sedang wajahnya? Lagi-lagi Rasti lupa sekadar cuci muka. Rasti mencoba melihat wajahnya di kaca depannya lewat bayangan lampu hias di teras. Tapi kaca itu terlalu gelap.

Mendadak Rasti gamang. Ragu. Bayangan Palwito mengenakan piyama halus, wangi, rambutnya disisir rapi, tiba-tiba terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Rasti memang belum pernah melihat Palwito mengenakan piyama, tapi bayangan itu tampak begitu nyata. Rasti memukul-mukul kepalanya mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia justru mendapati kaca di depannya tiba-tiba berubah seperti layar televisi menampilkan gambar Palwito mengenakan piyama halus, wajahnya bersih, turun dari ranjang empuk menghampiri pintu. Langkah Palwito tegas di atas lantai marmer mengkilat. Tubuhnya menebarkan wangi.

Masih berdiri di depan pintu, Rasti urung mengetuk pintu. Bayangan itu begitu menganggu. Rasti tak mau ketemu Palwito mengenakan piyama, rambutnya disisir rapi. Tak mau ketemu Palwito tubuhnya menebar wangi. Ia hanya mau ketemu Palwito dengan sarung dan kaus oblong butut, lubang-lubang. Palwito dengan celana pendek kusam dan telanjang dada. Palwito dengan rambut acak-acakan. Palwito dengan wajah kusut. Palwito dengan keringat bau jengkol…

***

RASTI melangkah cepat. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras. Sepanjang jalan pulang Rasti geram, terus merutuki kebodohannya tak berani mengetuk pintu rumah Palwito. Seandainya ia berani mengetuk pintu dan ketemu Palwito, tentu kini ia pulang dengan tenang. Tapi Rasti sadar, ia sendiri yang membuat kesalahan. Ia terlalu buru-buru hingga lupa berdandan. Diam-diam ia takut terlihat buruk di depan Palwito. Ah…

Rasti mendapati Pandu sudah bangun, tapi tak menangis. Mata bocah laki-laki itu sayu menatap ibunya yang baru datang. Rasti tersenyum sebelum beringsut ke dapur menyiapkan sarapan pagi. Siang sedikit ia mesti membawa Pandu ke dokter. Rasti selalu percaya pada dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Tapi, ah, tiba-tiba Rasti merasa enggan membawa Pandu ke dokter sebelum ketemu Palwito. Ya, ya, ia mesti ketemu Palwito terlebih dulu untuk minta uang. Tapi benarkah? Rasti tiba-tiba termangu. Beku.

Rasti ingat, uang yang ia simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari lebih dari cukup untuk membawa Pandu ke dokter. Tapi, entahlah, Rasti merasa perlu minta uang lagi pada Palwito. Merasa perlu memberi tahu Palwito bahwa Pandu sakit. Merasa perlu mengingatkan Palwito bahwa sudah enam hari tak pulang!

Sementara Rasti sibuk di dapur, di kamarnya Pandu terus merintih. Wajahnya pucat, matanya berkedip-kedip kian sayu…

***

UDARA subuh selalu dingin. Membuat Rasti menggigil. Apalagi kali ini Rasti tak pakai jaket. Rasti telah mengganti daster dan jaketnya dengan celana jeans dan kaos ketat, membuatnya tampak lebih seksi. Baru tadi siang ia membeli celana jeans dan kaos ketat itu. Ia tak ingin terlihat jelek di depan Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ah…

Pandu masih tidur ketika Rasti keluar. Bocah laki-laki itu belum menunjukkan gejala sembuh. Bahkan demamnya semakin tinggi, suka mengigau tengah malam. Rasti belum sempat membawa ke dokter. Mungkin nanti siang setelah ketemu Palwito. Setelah Palwito tahu Pandu sakit. Setelah Palwito merasa bersalah tak pulang selama tujuh hari. Setelah Palwito merasa berdosa membiarkan Pandu sakit. Setelah, ya, ya, setelah Palwito terkagum-kagum melihat penampilannya!

Tapi rumah itu gelap. Lutut Rasti tiba-tiba kembali gemetar. Matanya nanar. Ada beberapa pot bunga baru di teras rumah. Dua cangkir di atas meja. Asbak. Putung rokok. Dan…. Rasti melangkah pelan menghampiri teras. Rasti tak sabar ingin segera mengetuk pintu. Tak sabar ingin cepat-cepat menyampaikan kabar Pandu pada Palwito. Rasti ingin melihat wajah Palwito pucat mendengar Pandu sakit.

Rasti mengangkat tangannya siap mengetuk pintu. Tapi tiba-tiba urung. Samar, kaca di depannya memantulkan wajahnya yang berkeringat. Cepat-cepat Rasti menyeka keringat di wajahnya dengan kedua telapak tangan. Memperhatikan lebih seksama lagi dandanannya. Merapikan kaus dan ikatan rambut. Mematut. Tersenyum. Rasti menarik napas dalam-dalam, kembali siap mengetuk pintu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito. Sebentar lagi ia akan melihat wajah Palwito pucat mendengar kabar Pandu sakit.

Tapi, ah, lagi-lagi Rasti urung mengetuk pintu. Ia ingat, pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Gedoran pintu pun belum tentu bisa membangunkannya. Bagaimana jika yang membuka pintu bukan Palwito, tapi Arum? Ya, ya, Rasti ingat, perempuan itu bernama Arum. Istri muda Palwito! Arum telah merampok Palwito dari sisinya. Ingat nama perempuan itu, Rasti merasa tubuhnya goyah seperti ada gempa. Ia pernah berjanji tak sudi ketemu dengan perempuan itu. Ah…

Masih berdiri di depan pintu, Rasti kembali berkeringat. Wajahnya pucat. Sesaat lamanya Rasti mematung, bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi sejurus kemudian ia segera memutuskan pergi meninggalkan rumah itu sebelum seseorang di dalam rumah bangun keluar membuka pintu. Jelas orang itu bukan Palwito karena pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Bukan Palwito karena pintu digedor pun belum tentu membuat dia bangun.

***

CAHAYA matahari pagi menerpa wajah Rasti membuat matanya berkedip-kedip, silau. Tapi Rasti terus melangkah cepat bersaing dengan anak-anak berangkat sekolah. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras karena ditinggal sendirian. Mungkin siang nanti ia akan membawa Pandu ke dokter. Rasti percaya pada dokter yang selalu bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Pandu pasti sembuh.

Sepanjang jalan pulang Rasti terus merutuki nasibnya yang sial tak bisa ketemu Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ia merasa sia-sia telah membeli celana jeans dan kaos baru. Sia-sia semalaman tak bisa tidur. Sia-sia berdandan rapi. Sia-sia berjalan dua kilometer lebih pulang pergi. Sia-sia…

Tiba-tiba Rasti menghentikan langkahnya. Berdiri tegak menggosok-gosok mata memastikan penglihatannya tak terganggu. Tampak di rumahnya tetangga kanan kiri sibuk, hilir mudik. Rasti kaget merasa tak pernah mengundang orang-orang itu datang ke rumahnya. Ada apa? Apakah ada perampok masuk? Rasti kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini pelan dan gemetar. Jantungnya sedikit berdebar.

Tapi, ah, Rasti segera ingat, ia merasa tak punya barang berharga di rumahnya yang bisa mengundang kawanan perampok. Rumah-rumah lain jauh lebih pantas. Rasti kembali melangkah cepat. Sesekali kakinya terantuk batu. Rasti yakin tak ada perampok yang masuk rumahnya. Ia tak punya barang berharga di rumah. Ya, ia hanya punya Pandu. Hanya Pandu…

Depok, 2005

Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo, Jogjakarta, 27 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Bidadari Bersayap Belati (2002), Perempuan Semua Orang (2004), Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005).

kumpulan cerpen

Kamar Belakang

Cerpen Teguh Winarsho AS

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. "Kita belum selesai…" Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu!"
"Tenang. Paling cuma anak-anak ngasih undangan. Mereka sudah pergi…" Meski belum terlalu yakin dengan dugaannya, Wiguno berusaha meyakinkan Sawitri. Tatap matanya berubah serius. Sawitri menarik napas dalam-dalam tak begitu yakin dengan ucapan Wiguno. Sawitri masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Tapi setelah berpikir beberapa saat, dengan isyarat mata akhirnya Sawitri menyuruh Wiguno keluar. Entah, giliran Wiguno yang tiba-tiba ragu.

Lama Wiguno berdiri di depan pintu kamarnya, merapikan rambut dan mencoba bersikap wajar, sebelum kakinya bersijingkat menghampiri kamar depan. Pelan dan hati-hati langkah Wiguno takut menimbulkan bunyi. Takut Nastiti benar-benar sudah pulang. Tapi rumah itu sangat sepi hingga Wiguno bisa mendengar aliran napasnya sendiri. Wiguno terus melangkah. Kali ini lebih pelan.

Pintu kamar depan tidak ditutup rapat. Wiguno melongok dan jantungnya hampir lepas. Di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wajahnya letih, sayu. Tas kerjanya jatuh di lantai hingga benda-benda di dalamnya berserak. Wiguno segera tahu, istrinya sedang tak enak badan sehingga pulang lebih cepat. Wiguno juga hapal, istrinya belum lama tidur dan bangunnya pasti lama. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ada hasrat yang belum tuntas.

Sawitri kaget tiba-tiba Wiguno menyergap dari belakang. Dengus napasnya liar. Matanya menyala. Sawitri heran, tak biasanya Wiguno bersikap kasar dan buru-buru. Tapi Sawitri tak bisa berkelit. Tak boleh menjerit. Berkali-kali Wiguno memberi isyarat agar jangan bersuara terlalu keras. Wiguno membopong tubuh Sawitri, dihempas ke atas ranjang. Melucuti pakaiannya seperti kesetanan. Augh!
***
NASTITI bangun mendengar suara sepeda motor masuk halaman. Bangkit dari ranjang, Nastiti merasakan badannya jauh lebih enak. Ia segera mengintip gordyn jendela melihat siapa yang datang. Tampak di halaman, Palastra, teman sesama guru di SMP sedang memarkir sepeda motor. Nastiti cepat-cepat menyisir rambutnya yang kusut. Lalu, setengah berlari menghampiri pintu depan, persis bersamaan Palastra mengetuk pintu.

"O, Pak Palastra. Mari, mari, masuk." Nastiti tersenyum ramah, membuka pintu mempersilahkan Palastra masuk.
Palastra yang berdiri di depan pintu sedikit grogi melihat senyum ramah Nastiti. Ia tak menduga Nastiti sendiri yang akan membuka pintu, menyambutnya. Tapi memang, diam-diam sudah lama ia memendam kagum pada Nastiti. Mungkin sejak pertama kali bertemu, saat Nastiti mulai mengajar sebagai guru honorer. Selalu ada perasaan aneh menyusup dalam jantungnya. Apalagi ketika teman-teman sesama guru suka meledek bahwa Nastiti sangat mirip dengan mendiang istrinya yang sudah meninggal empat tahun lalu.

"Ehm….Tidak usah. Di sini saja. Saya hanya mengantar hasil ulangan anak-anak…" Palastra benar-benar belum bisa menguasai groginya, menyerahkan setumpuk kertas hasil ulangan pada Nastiti. Tangannya gemetar, berkeringat.

"Aduh, saya jadi merepotkan," ucap Nastiti merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Tadi sebenarnya mau saya bawa pulang ke rumah. Saya takut Bu Nastiti belum sembuh. Tapi saya lihat Bu Nastiti sudah baikan. Mudah-mudahan besok sudah bisa mengajar." Berkata demikian, Palastra merogoh saku celana, agak buru-buru, mengeluarkan kunci sepeda motor. "Sekarang saya permisi dulu. Sudah sore…."

Nastiti hanya mengangguk-angguk, tak sempat menjawab. Laki-laki itu keburu memutar badannya berjalan menghampiri sepeda motor. Nastiti terus menatap Palastra hingga sepeda motor yang dikendarainya bergerak meninggalkan halaman rumah. Nastiti bukannya tidak tahu, tadi Palastra grogi berhadapan dengan dirinya. Ah, bukan hanya tadi saja, tapi selalu dalam setiap pertemuan.

Nastiti sering merasa kasihan pada Palastra yang ramah dan baik hati. Berkali-kali Palastra membantu dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita dari para guru tentang masa lalu Palastra. Nastiti jadi semakin bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap di depan guru matematika kelas tiga yang masih cukup muda dan tampan itu. Nastiti sadar, sangat sadar, sesekali dirinya juga grogi dan salah tingkah setiap kali Palastra menatapnya dari kejauhan. Tatapan Palastra begitu dalam.
***
SAWITRI buru-buru membalikkan badannya menghadap tembok, pura-pura tidur, ketika mendengar langkah kaki Muntar, suaminya, berjalan menuju kamar. Sejak nonton tv sore tadi, Sawitri sudah bisa membaca gelagat laki-laki itu. Selalu ada maunya setiap kali beli makanan banyak. Apalagi malam Minggu. Muntar bisa begadang sampai pagi, melakukannya berkali-kali.

Sampai di kamar, Muntar kecewa melihat Sawitri sudah tidur. Muntar ikut rebah di sebelah Sawitri, tapi matanya hanya merem melek tak kunjung bisa tidur. Berkali-kali Muntar hendak membangunkan Sawitri, tapi selalu ragu. Dalam hati Muntar heran, tak biasanya Sawitri tidur sore. Apalagi malam Minggu. Muntar terus menatap Sawitri yang tidur di sebelahnya hingga lama-lama timbul keberanian untuk membangunkan Sawitri.

Tapi tidur Sawitri tampak sangat lelap. Sekujur tubuhnya ditutup selimut. Berkali-kali Muntar berusaha membangunkan, tapi selalu gagal. Perempuan itu tak bergerak sedikit pun, kaku seperti kayu. Muntar menelan ludah, kecewa berat. Sudah lama ia tak berhubungan badan.
***
DUDUK di bangku pojok kantor guru, Nastiti terlihat tekun memeriksa hasil ulangan matematika murid kelas dua. Nastiti malas membawa pulang kertas-kertas hasil ulangan, khawatir justru tak bisa selesai. Para guru dan murid sudah lama pulang, membuat sekolah itu tampak sepi. Mungkin hanya tinggal penjaga sekolah dan penjaga kantin di belakang.

O, ternyata tidak! Palastra tergopoh-gopoh masuk kantor hendak mengambil beberapa buku yang tertinggal. Palastra kaget mendapati Nastiti masih di kantor. Nastiti pun tak kalah terkejutnya, saat matanya beradu dengan mata Palastra. "Bbelum pulang?" tanya Palastra gugup, masih belum hilang terkejutnya.

"Belum. Aku malas mengerjakan di rumah."
"Mau kuantar sekalian?" Palastra memberanikan diri mendekat.
Entah, Nastiti mendadak gugup. Mungkin sejak tadi, saat beradu pandang. Tatap mata Palastra begitu dalam. Seperti menyimpan magnet, menggetarkan. Nastiti semakin salah tingkah melihat Palastra mendekati dirinya. Pikirannya sudah tak konsentrasi lagi dengan kertas-kertas hasil ulangan yang bertumpuk di atas meja. Kini Palastra sudah berdiri di depannya. Anggun. Berwibawa.

"Mau kubantu?"
Nastiti menggeleng. "Terima kasih. Sedikit lagi selesai…"
Tapi Palastra sudah duduk di kursi samping Nastiti. Nastiti merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Debar yang sama dirasakan oleh Palastra. Apalagi saat angin dari jendela meniup rambut Nastiti. Beberapa helai rambutnya melayang menerpa wajah Palastra. Harum dan lembut. Palastra tiba-tiba tak bisa menguasai diri. Ada sesuatu yang tiba-tiba menguap dari ingatannya. Ingatan seorang laki-laki yang empat tahun bertahan hidup seorang diri. Dan, Nastiti adalah perempuan cantik yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya.

Palastra benar-benar tak bisa menahan diri. Diraihnya tangan Nastiti yang lembut. Sudah lama ia tak merasakan kelembutan tangan seorang perempuan. Seperti tak sadar, Nastiti hanya diam. Tubuhnya bergetar gemetar. Palastra kemudian meraih wajah Nastiti, dihadapkan ke wajahnya. Ada rongga sunyi di mata Palastra. Ada lorong kelam di sana. Nastiti bisa melihat kesunyian dan kekelaman itu kini mulai menjalar tubuhnya, membuat dirinya hanyut, terlena, menikmati cumbu Palastra.

Tapi sejurus kemudian tiba-tiba Nastiti berontak melepaskan diri. Sesaat Palastra tersentak, kaget. Tapi Palastra segera sadar, telah membuat kekeliruan. Palastra merasa malu. Wajahnya berubah pucat penuh rasa bersalah dan penyesalan. Nastiti merasa lebih malu lagi, segera menyambar tas di atas meja lalu lari keluar.
"Nastiti, demi Tuhan, aku khilaf. Maafkan aku! Maafkan aku!" Palastra berteriak, tapi Nastiti terus lari. Pulang.
***
SAMAR dan kabur pandangan Nastiti saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Nastiti merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut. Peristiwa di sekolah barusan membuat dirinya sangat terpukul. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga yang ada, Nastiti menghampiri kamar depan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno menyesal lupa tak mengunci pintu depan. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara orang yang baru masuk rumahnya. Wiguno jadi penasaran, tak yakin jika istrinya sudah pulang. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
"Kita belum selesai…." Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu! Mau berapa kali lagi?!"
"Sehari tiga kali, seperti minum obat…" Wiguno melucu.

Sawitri tersenyum. "Ya, sudah, sana lihat!"
Wiguno segera bersijingkat menghampiri kamar depan. Untung pintunya tak ditutup rapat. Ia cukup melongokkan kepalanya dan segera tahu di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wiguno menduga istrinya sedang tak enak badan. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ini untuk permainan terakhir kalinya. Siang ini. Yang ke empat! ***
Depok, 2005


Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo, 27 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Bidadari Bersayap Belati (2002), Perempuan Semua Orang (2004), Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005), dan novel Tunggu Aku di Ulegle (2005).

kumpulan cerpen

PECUNDANG

Cerpen: Wayan Sunarta

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***